Kekasih Mas Hendra





Tak ada seorang pun yang salah dalam hal ini. Begitupun juga Pak Halim, saat beliau memindahkan posisiku dari corporate communication yang selalu mewakili perusahaan dalam berbagai kegiatan, menjadi staff administrasi yang hampir sepanjang hari berkubang dengan kertas-kertas dalam ruangan kantor. Sungguh, beliau tak salah.

Kini, kulihat bayangan seluruh tubuhku dalam cermin lemari kamar. Ah, betul-betul jelek, melar, gendut, mengerikan! tiba-tiba saja aku ingin berteriak sekeras-kerasnya! 

Ting tong!
Bel pintu berbunyi. Yap, pasti mas Hendra! Kubuang jauh-jauh kekesalan ini, kurapikan daster baruku dan segera keluar. 
"Belum tidur, Bun?" sapa Mas Hendra sambil tersenyum lebar, saat kubuka pintu ruang tamu. Aku cuma menggeleng tanpa suara. Mas Hendra masuk dan mencium keningku. Kulirik jam dinding yang tiba-tiba berbunyi. Pukul 01.00 dini hari. Kutarik napas panjang. Ini adalah hari kesepuluh Mas Hendra pulang larut dalam bulan ini.

"Maaf, ya, Sayang," ujarnya sambil melingkarkan tangan kekarnya di pinggangku, "Hari ini rapat dengan relasi baru perusahaan kami alot sekali. Malah Wawan,wakilku itu lagi banyak masalah. Jadi aku sendiri yang menangani." Mas Hendra terus saja berbicara seakan tidak terjadi apa-apa. Ia mencuci muka dan menyikat giginya di kamar mandi. Beberapa menit kemudian aku masuk ke kamar dan membawa secangkir lemon tea hangat kesukaannya, tapi kulihat ia telah terlelap di tempat tidur.

Seperti beberapa hari yang lalu, segera kuperiksa baju dan celana panjangnya. Kurogoh kantong-kantong yang ada dan berharap bisa menemukan sedikit bukti kecurigaanku selama ini. Ah, tidak ada surat atau  apa pun kecuali beberapa karcis dan bukti pembayaran tol. Kuperiksa dompetnya, mungkin saja aku bisa menemukan tiket bioskop Twenty One  di sana, hm ... sia-sia. Tunggu dulu! Aku seperti mencium wangi lain dari kemeja yang tadi dipakai Mas Hendra. Sekali lagi kucium kemejanya. Bukan bau Mancelle yang biasa dipakainya. Baunya lebih menyengat. Bukan, bukan parfum wanita. Ah, sejak kapan Mas Hendra mengganti parfumnya? batinku.

"Menurutku, kau harus lebih hati-hati dengan suamimu, apalagi dengan gejala-gejala yang kau lihat sendiri." Kalimat Vida, sahabatku yang dulu pernah kuliah di Fakultas Psikologi itu terngiang-ngiang di telingaku. "Apakah ia mulai pulang larut? Apakah seharian ia tidak bisa dihubungi lewah HP-nya? Apakah ia terlihat puber dan berdandan berlebihan? Atau tiba-tba ia jadi jauh lebih ramah kepadamu?" Aku mengangguk. Persis seperti Mas Hendra saat ini.

"Coba kau telepon seketarisnya dan tanyakan beberapa hal tentang suamimu," kata Vida lagi, "kalau tiba-tiba suaranya jauh lebih merdu dari biasanya, kau harus lebih berhati-hati."

"Memangnya mengapa, Vid?" tanyaku polos.

"Kamu kok lugu sekali, sih, Wid? Kalau terjadi hal seperti itu berarti dia sedang berusaha menutupi belang bosnya!" kata Vida meyakinkanku, "atau ... bisa saja si seketaris itu terlibat!" Benar juga kata Vida, siang tadi, suara Mira, seketaris Mas Hendra, jauh lebih merdu dari biasanya.

Kupandangi lelaki tercintaku dalam lelapnya. Wajahnya tampan, dengan hidung mancung dan alis yang tebal. Kala mata elangnya menatapku, kulihat pendar cinta di sana.

"Aku bangga bisa mendapatkanmu, Wid. Kau gadis yang baik, cerdas, manis, mapan, dan keturunan keluarga berada. Luar biasa! Aku tak menyangka bisa seberuntung ini dalam hidupku!" katanya sesaat setelah pernikahan kami, "kau dengar kata mereka yang hadir di pernikahan kita? Kita sangat serasi!!"

Tiba-tiba, mataku berkaca-kaca mengingat ucapan itu. Serasi? Apakah setelah lima tahun berlalu masih ada yang akan berkata begitu?



------Bersambung------


#TantanganODOP3
#onedayonepost
#odopbatch6
#fiksi

#Tenangbukanpromosibuku  ^_^







Komentar

Postingan populer dari blog ini

Dilema Ibu Bekerja Atau Ibu Di Rumah

Menulis Novel Sejarah

Prof Dr Khoirul Anwar, Bapak Teknologi 4G

Perjalanan Dinas Yang Mengesankan Part 2

Teman Bahagia

ANAKKU, GURU KEHIDUPANKU

6 Rahasia Blue Sapphire yang Mempesona

Kekasih Mas Hendra (Lanjutan 1)

Kisah Monyet Nakal dan Tupai Pemaaf

Renungan, Momen di Setiap Sisi Kehidupan