Belajar Menulis Novel 1

Cinta dan Rahasia
Titis Widias


Chapter 1


“Dok, tolong selamatkan istri saya. Berapa pun biayanya akan saya siapkan.“
“Ayo cepat, pasien kehabisan darah,”
“Suster, siapkan ruang  operasi.”
Suara itu ... kebisingan itu … kepanikan keluarga pasien dan kesibukan para dokter dan suster  yang sering aku jumpai di IGD tempat aku bekerja.

Namaku Diandra, tepat seminggu setelah kelulusanku dari fakultas kedokteran, aku diterima di salah satu rumah sakit ternama di kota Surabaya. Sejak menerima SK dinas di IGD, hari-hari berlalu begitu cepat. Hampir seluruh waktuku habis untuk melayani pasien. Banyak kasus yang telah aku tangani dan Alhamdulillah semua dapat dilalui dengan lancar. Hingga pada suatu hari datanglah seorang pasien bernama Alifandra. 

“Berdasarkan hasi x-ray, Anda mengalami patah tulang panggul. Saya sarankan Anda melakukan operasi pembedahan untuk memperbaiki posisi tulang panggul,” ucapku.
“Seberapa parahkah, Dok?” tanya Alifandra.
“Melihat usia Bapak saat ini, Insya Allah masih bisa diperbaiki. Kasus patah tulang ini beragam. Semakin tua usia pasien, kemungkinan sembuh seperti semula sangat minim karena tergantung dari kepadatan tulang dan masa otot,” jawabku.

Mendengar penjelasanku, wajah Alifandra berubah menjadi lebih tenang. Kusodorkan form untuk tindakan pembedahan dan dia pun langsung menandatanganinya.

Jadwal tindakan bedah yang aku rencanakan untuk Alifandra telah tiba, ini kasus bedah pertamaku selama aku bekerja di IGD. Jantungku berdegup kencang, terbayang pelajaran kuliah yang dijelaskan oleh dosen bedahku dan aku berusaha keras untuk mengingat satu demi satu langkah pembedahan yang dulu pernah aku praktikkan bersama teman-teman. Bedanya, waktu praktik aku melakukannya pada manekin dan sekarang pada manusia.

“Dok, ruang operasi sudah siap dan pasien sudah menunggu di dalam,” ujar perawat yang akan mendampingiku di ruang operasi.
“Bismillahirrahmanirrahim, Allahumma yassir,” aku berdoa dalam hati.
Kulihat di patient monitor, detak jantung, tekanan darah, denyut nadi dan temperature pasien dalam kondisi normal.
“Dok, anestesi sudah dilakukan. Pasien sudah siap dioperasi,” ucap dokter spesialis anestasi yang mendampingiku.

Aku memasang sarung tangan dan masker lalu memulai proses pembedahan.  Kusayat kulit   bagian panggul, darah segar mengalir. Keringat bercucuran, jantungku berdegub lebih kencang seolah tak mau kalah dengan bunyi alat patient monitor di sebelah alat anestasi dan tanganku pun mulai bergetar.  
“Dokter baik-baik saja?” tanya perawat yang berdiri di dekat meja mayo yang bertugas mengambilkan beberapa alat bedah untukku.

Kuacungkan jari jempol untuk memberi isyarat bahwa aku baik-baik saja. Kutarik napas panjang beberapa kali, berusaha menenangkan diri dan kemudian melanjtkan kembali proses pembedahan. Selang beberapa menit proses tersebut berhasil aku lalui, perawat kembali menyodorkan skrup logam. Aku masukkan skrup logam tersebut ke dalam tulang paha dengan ketelitian yang tinggi untuk membantu fungsi sendi panggul pasien. Terakhir, aku mulai menutup luka dengan menjahit bagian tubuh yang tersayat. Semua yang diajarkan dosen, aku praktekkan pada Alifandra. Enam puluh menit berlalu dan Alhamdulillah proses operasi berjalan dengan lancar.

Aku berjalan meninggalkan ruang operasi dengan perasaan yang lega. Tiba-tiba seseorang menarik tanganku, aku membalikkan badan dan terkejut. Wajah itu … iya wajah itu tak asing lagi bagiku. Dia adalah wanita yang telah menabrak ayah dan menjadikanku anak yatim di usia 10 tahun. Sepeninggal ayah, kehidupan kami berubah drastis. Bunda bekerja banting tulang menghidupi aku dan adik seorang diri.  Di usia yang masih kecil, aku harus membantu bunda mencari nafkah dengan berjualan kue basah setelah pulang sekolah. Beruntung, aku selalu mendapat beasiswa hingga masuk ke fakultas kedokteran sehingga dapat membantu meringankan beban bunda.


“Dokter, bagaimana kondisi anak saya?” tanya wanita itu cemas.
“Dok … dokter kenapa diam saja, apa anak saya baik-baik saja?” wanita itu menggoncang tubuhku.
“Eh … iya maaf, Bu. Anak Ibu baik-baik saja. Operasinya berjalan lancar,” ucapku.

Tak kusangka, setelah lebih dari 20 tahun aku bertemu dengannya lagi. Perasaan marah yang dulu memuncak kini muncul kembali. Aku berusaha meredam amarah dan bergegas meninggalkan ibu Alifandra menuju ke ruanganku. Dadaku sesak, kepalaku pusing, butiran air mata menetes di pipiku. Tak kuasa menahan perasaan sedih yang mendalam, aku pamit izin meninggalkan IGD.



Bersambung....

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Dilema Ibu Bekerja Atau Ibu Di Rumah

Menulis Novel Sejarah

Prof Dr Khoirul Anwar, Bapak Teknologi 4G

Perjalanan Dinas Yang Mengesankan Part 2

Teman Bahagia

ANAKKU, GURU KEHIDUPANKU

6 Rahasia Blue Sapphire yang Mempesona

Kekasih Mas Hendra (Lanjutan 1)

Kisah Monyet Nakal dan Tupai Pemaaf

Renungan, Momen di Setiap Sisi Kehidupan