Kekasih Mas Hendra (Lanjutan 3)





"Ada paket untukku nggak, Wid?" tanya Mas Hendra sambil membuka sepatunya di ruang tamu.
"Tidak," jawabku datar.
"Mengapa belum datang juga, ya? Di telepon tadi katanya sudah lama dikirim." Mas Hendra mengguman  sendiri sambil mengelus dagunya.
Huh, baru kangen-kangenan rupanya mereka! Aku cemberut. Pertemuan tanggal 20 September 2017 di bandara itu..., jangan kira aku tidak tahu.

"Eh, Wid, temani aku makan, yuk! Aku sengaja nggak makan di luar. Aku kangen sama masakanmu dan yakin paling tidak jam setengah delapan sudah bisa sampai di rumah ... jadi...." Mas Hendra menatapku lekat. "Kamu kok pucat? Sakit, ya, Wid? Atau ada masalah?" Nada suaranya khawatir.

Aku diam, sebal!
"Kalau ada masalah jangan suka dipendam. Ingat nggak dulu? Waktu gadis, kan, kamu sangat tertutup sama bapak dan ibu. Kalau punya masalah hanya dipendam saja. Makanya kamu kurus...."

"Iya. Sekarang aku memang melar, gendut, jelek!" kataku ketus.
"Lho, kok ngomong begitu?" suara Mas Hendra kaget. 
"Maafkan aku, Wid. Kamu jangan terlalu perasa, dong!" tangan Mas Hendra lembut membelai pipiku, "Ya sudah. Aku mau shalat isya dulu. Nanti kita makan bersama, ya?"

Mas Hendra memakai sandal jepitnya dan pergi ke kamar mandi. Setelah itu, kulihat ia memasuki kamar. Tidak lama kemudian, aku menyusulnya. Aku takut ia membongkar lemari dan menemukan paket itu.

Aku menarik napas lega. Tidak ada yang membongkar lemari. Mas Hendra malah sedang sholat. Sesuatu yang memang tidak pernah ditinggalkannya. Tuhan, kepura-puraan apa lagikah ini?

Aku harus menuntaskan masalah ini, tapi, apa yang harus aku lakukan? Aku tidak ingin salah langkah. Aku tidak rela Mas Hendra perg, sedangkan September tinggal beberapa minggu lagi, Uh, pusing.

***

Ketika kuceritakan semua kepada Vida saat istirahat kantor, wajah mungilnya terbelalak.
"Perselingkuhan di depan mata," katanya, "Gila!"
Aku hanya menunduk sambil memijat-mijat keningku.
"Akhir-akhir in sikap Hendra bagaimana?" tanya Vida ingin tahu.
"Dia masih sok mesra," sahutku, "pulang juga lebih awal. Malah baru-baru ini membelikanku cincin berlian, tapi...."

"Apa?" kejar Vida tidak sabar.
"Mas Hendra bilang, bulan September ini mungkin dia akan keluar kota selama satu minggu, mengurus anak cabang perusahaan di sana."

"Wuuiiihh, padahal dia mau bersenang-senang dengan si Miranda itu!" potong Vida, "kasihan kamu, Wid." Kamu yang selalu membanggakan suamimu yang ganteng, pintar, dan alim, akhirnya harus menghadapi hal yang sama. Bang Sat dan Mas Hendra ternyata enggak jauh beda!"

"Jadi, aku harus bagaimana?" tanyaku lirih.
"Hadapi, Wid. Kamu tangkap basah mereka di bandara atau kamu ikuti sampai hotel. Tampar dua-duanya, pulang dan mengurus surat cerai." Ucap Vida bersemangat.
"Hah?" aku hanya bisa melongo mendengar sarannya.


------Bersambung------


#Tantanganodop3
#onedayonepost
#odopbatch6
#fiksi


#Tenangbukanpromosibuku ^_^








Komentar

Postingan populer dari blog ini

Dilema Ibu Bekerja Atau Ibu Di Rumah

Menulis Novel Sejarah

Prof Dr Khoirul Anwar, Bapak Teknologi 4G

Perjalanan Dinas Yang Mengesankan Part 2

Teman Bahagia

ANAKKU, GURU KEHIDUPANKU

6 Rahasia Blue Sapphire yang Mempesona

Kekasih Mas Hendra (Lanjutan 1)

Kisah Monyet Nakal dan Tupai Pemaaf

Renungan, Momen di Setiap Sisi Kehidupan