Kekasih Mas Hendra (Lanjutan 1)




Dulu, terus terang aku selalu benci bila ada orang yang memutar lagu cengeng mendayu-dayu. Apalagi bila yang menyanyikan adalah wanita, yang syairnya berkisar tentang cinta yang retak atau kepedihan kala ditinggal kekasih. Namun, lagu yang mengalun dari radio sebuah kedai minuman tepat di sampingku sekarang, seakan berkisah tentang diriku dan semakin menyentak dada.

Jatuh bangun aku mencintaimu....
tapi dirimu tak mau mengerti....

Aku menunduk, mencoba menghindari tatap mata beberapa orang. Penjaga kedai  minuman itu berkali-kali bertanya apakah aku ingin memesan minuman. Aku hanya menggeleng. Bersamaan hujan yang mulai turun rintik-rintik, kurasakan mataku basah oleh air mata.

Melalui kaca jendela sebuah kafe di seberang jalan, aku melihat sosok mas Hendra yang kucintai itu duduk sendiri. Ia tampak resah, berkali-kali melihat jam di tangannya. Mungkinkah ia menunggu  perempuan itu?

Tiba-tiba  kulihat seorang perempuan menghampiri Mas Hendra. Cantik dan langsing. Aku cemburu melihat pemandangan di depan mataku. Kutarik napas panjang, ah ... ternyata, perempuan itu adalah pramusaji kafe. Dadaku masih berdebar cepat. Menanti-nanti, seperti apakah kekasih suamiku itu.

Waktu terus berlalu. Kilat menyambar-nyambar dan hujan turun semakin deras. Lagu-lagu cengeng yang menemaniku sejak tadi sudah tidak kedengaran lagi. Tanpa kusadari, aku sudah basah kuyup. Aku kian menepi, tapi tidak bisa masuk karena kedai telah tutup. Kulirik jam tangan. Ya ampun, jam 23.00.

Kulihat Mas Hendra menelepon seseorang, lalu dengan tergesa-gesa ia keluar kafe dan menuju mobil yang baru dibelinya beberapa bulan yang lalu. Aku segera berlari mengikutinya dan mencari taksi. Sia-sia! Mas Hendra melaju dengan cepat. Sementara bajuku kotor terkena genangan dan cipratan air dari mobil-mobil yang melintas.

Ya Tuhan ... aku ingin meratap. Ke manakah Mas Hendra sekarang?

Sebuah taksi gelap berhenti di depanku. Aku segera masuk dengan perasaan tak karuan. Aku harus pulang sebelum Mas Hendra pulang.

Tiba-tiba....
"Serahkan seluruh harta benda atau Nyonya akan kubunuh!" sopir taksiberwajah sangar itu menodongkan pisau tepat di depan wajahku. Aku terbelalak dan gemetar ketakutan. Tak kuasa berbuat apa pun, kuserahkan tas tanpa bicara.

"Sekarang turun dari taksiku Nyonya Gendut!" 
Nyonya Gendut? Kurang ajar!, batinku.Aku turun perlahan dari taksi sial itu, takut pisau yang ia todongkan menggores wajahku. Taksi gelap itu berlalu begitu saja. Aku masih ketakutan, tetapi biar bagaiman pun, aku harus segera pulang. 

Aku berusaha membungkuk dan mengambil selembar lima puluh ribuan yang selalu keletakkan di dalam stoking di bawah telapak kakiku. Ups, tubuhku benar-benar gemuk, sampai-sampai membungkuk pun susah sekali. Kuusap air mataku yang kembali menitik.

Tidak berselang lama, sebuah taksi biru melintas. Pengemudinya tampak sudah berumur dan sopan. Aku naik dengan dada masih berdebar kencang. Mas Hendra, taukah engkau nasib istrimu malam ini? Gumanku dalam hati.

Aku sampai di rumah tepat tengah malam. Mbok Min yang terkantuk-kantuk dengan setia membukakan pintu. 
"Mbok, bapak sudah pulang?" tanyaku sesaat setelah pintu terbuka.
"Belum, Nya." Jawab Mbok Min sambil mengucek matanya.
"Kalau bapak pulang, katakan saja saya sudah tidur sejak jam tujuh, ya, Mbok!" Mbok Min mengerutkan kening diikuti anggukan kepala.

------Bersambung------


#Tantanganodop3
#onedayonepost
#odopbatch6
#fiksi

#Tenangbukanpromosibuku  ^_^





Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Dilema Ibu Bekerja Atau Ibu Di Rumah

Menulis Novel Sejarah

Prof Dr Khoirul Anwar, Bapak Teknologi 4G

Perjalanan Dinas Yang Mengesankan Part 2

Teman Bahagia

ANAKKU, GURU KEHIDUPANKU

6 Rahasia Blue Sapphire yang Mempesona

Kisah Monyet Nakal dan Tupai Pemaaf

Renungan, Momen di Setiap Sisi Kehidupan