Kekasih Mas Hendra (Lanjutan 4)






Bandara Juanda, pukul 15.30....
Aku duduk seolah membaca koran, sambil memperhatikan sekitar dan mengawasi pintu masuk utama. Ah, sakitnya hatiku. Jam 15.45 kulihat Mas Hendra tergesa-gesa melewati pintu masuk.

Aku bangkit dan segera mengikutinya. Namun, sukar sekali bagi tubuh gemukku untuk bergerak cepat tanpa terlihat. Sesekali kubetulkan kacamata hitamku.

Deg, aku terhenti. Kulihat Mas Hendra membantu mengangkat tas wanita itu. Brengsek! Aku melihat mereka tertawa lepas, meski sesekali tampak celingukan. Huh, takut ketahuan barangkali. Sesaat kemudian, kulihat Mas Hendra pergi ke kedai minuman di dalam  bandara. Kini, si 'Tatjana' itu sendirian.



Dadaku kian sesak. Tiba-tiba saja amarahku naik sampai ke ubun-ubun. Tanpa terencana, aku melangkah dengan cepat ke arah wanita itu.

Aku tiba di hadapannya, si genit ini belum juga sadar apa yang terjadi. Aku begitu gemas, begitu luka serta porak poranda. Baru saja aku akan menamparnya, ketika kusadari bahwa aku adalah perempuan berpendidikan.

"Hai! sedang menunggu jemputan, ya?" tanyaku dengan nada ramah yang dibuat-buat, sementara batinku bergejolak.
"Tidak, Mbak. Sudah ada yang menjemput,kok. Dia sedang membeli minuman." jawabnya ramah.
"Oh ... dijemput pacar atau suami?" tanyaku penuh selidik.
Ia tersipu, "Suami, Mbak. Heran, dia kok lama sekali,ya."
Deg, aku tertohok. Suami? Tuhan, mereka sudah menikah! Gila! Tungkai kakiku lemas. Keringat dingin membasahi bajuku, tapi aku harus berusaha untuk kuat.

"Siapa nama suamimu, Mbak?"
Wanita itu seakan terkejut. Ia menatapku aneh, "memangnya mengapa, Mbak?"
"Hm ... eh ... anu ... jangan salah sangka. Daripada menunggu lama, coba Mbak pergi ke bagian informasi untuk mengumumkan bahwa Mbak sedang menunggunya di sini."
"Oh, begitu. Hendra namanya, Mbak." Katanya sambil tersenyum mendengar usulku, "tidak perlu ke bagian informasi lah, Mbak. Mungkin sebentar lagi dia datang."
Aku merasa tidak sanggup lagi berdiri, tubuhku gemetaran.

"Nah, itu dia!" kulihat wanita itu melambaikan ke satu arah dengan wajah gembira.
Semantara, aku? Aku tidak tahu harus bagaimana. Apa yang akan dikatakan Mas Hendra kepadaku? Apa yang akan aku lakukan kepadanya? Memarahi, menampar mukanya di depan umum seperti di sinetron-sinetron, atau apa?
Matilah aku! aku berbalik dan membelakangi mereka.

"Kok lama, ya?" suara Miranda manja.
"Iya, tadi lagi antri." Suara Mas Hendra, "tapi kamu sabar menanti, kan?" sambungnya.
"Iya, dong! Siapa dulu? Miranda!" suara si centil dengan nada mendayu-dayu.

Oh, Tuhan! Aku sudah tidak kuat lag menahan bendungan air mata yang hampir jebol ini! Mas Hendraku, tidakkah kau lihat istrimu yang pernah kaucintai, yang sekarang gemuk dan jelek ini berada di antara kalian?

Tiba-tiba, tanpa kurencanakan, aku berbalik. Kini, dengan jelas aku berhadapan dengan mereka.
"Mas Hendra....," suaraku lemah.
Mas Hendra terperangah, wajahnya mendadak pucat, "Wid, kok kamu ada di sini?"
Air mataku berderai. Aku tidak sanggup berkata apa pun. 


------Bersambung------

#Tantanganodop3
#onedayonepost
#odopbatch6
#fiksi

#Tenangbukanpromosibuku ^_^






Komentar

Postingan populer dari blog ini

Dilema Ibu Bekerja Atau Ibu Di Rumah

Menulis Novel Sejarah

Prof Dr Khoirul Anwar, Bapak Teknologi 4G

Perjalanan Dinas Yang Mengesankan Part 2

Teman Bahagia

ANAKKU, GURU KEHIDUPANKU

6 Rahasia Blue Sapphire yang Mempesona

Kekasih Mas Hendra (Lanjutan 1)

Kisah Monyet Nakal dan Tupai Pemaaf

Renungan, Momen di Setiap Sisi Kehidupan