Guru Kecilku Sayang.

 

 

“Bun, berangkat dulu, ya. Baik-baik di rumah. Kalau ada apa-apa, kabari ayah.”

“Iya, Yah. Hati-hati di jalan. ”

“Assalamu’alaikum, Bunda.”           

“Wa’alaikummusalam.”

Percakapan singkat yang selalu kami ucapakan seusai sarapan pagi. Seperti biasanya, kecupan indah mendarat lembut di dahiku. Ia adalah suami yang sangat sempurna. Sepeninggal Mas Dirga, aku menyalakan laptop dan berselancar di dunia maya untuk membunuh sepi. Hari ini, dengan diiringi sebuah lagu berjudul 'Melawan Dunia', wall di salah satu media sosialku menampilkan update status setahun yang lalu. Foto itu, iya foto El saat pertama kali kami melakukan perjalanan wisata.

Aku ingat betul saat-saat melahirkan El. Waktu itu, hujan turun rintik-rintik, aku merasakan sakit yang luar biasa. Air ketuban merembes membasahi pakaianku. Perjalanan ke rumah sakit begitu dramatis karena ban mobil sempat bocor. Aku menjerit kesakitan sehingga membuat Mas Dirga semakin panik. Untungnya, ada tukang becak yang sedang lewat. Tanpa pikir panjang, Mas Dirga langsung membopongku naik ke atas becak.  

“Pak, tolong lebih cepat lagi!” pinta Mas Dirga.

“Iya, Pak. Ini sedang saya usahakan,” balas tukang becak dengan napas tersengal-sengal.

“Yah, aku sudah tidak kuat lagi,” rintihku sambil terus memegangi perut dan menahan rasa sakit yang luar biasa.

“Pak, cepat!” teriak suamiku.

“Saya sudah berusaha, Pak! Kalau bapak pingin cepat, naik taksi saja,” balasnya dengan nada emosi. Padahal saat itu tidak ada satu pun taxi yang lewat.

“Berhenti… berhenti… saya mau turun!” pinta suamiku sambil menurunkan salah satu kakinya dan melangkah ke belakang kemudi, ”ayo, turun, Pak. Kita dorong becak ini sambil lari bersama supaya cepat sampai di rumah sakit. Itu rumah sakitnya sudah terlihat di depan sana,” sambungnya.

Syukurlah, bapak pengayuh becak mau mengikuti ajakan suamiku. Akhirnya, kami pun sampai di rumah sakit. Perjalanan ke rumah sakit yang penuh perjuangan dan sakitnya melahirkan terbayar dengan kehadiran bayi lelaki yang tampan bernama Elang Saladin Dirgantara.

Kebahagiaan keluarga kecilku semakin bertambah, El menjadi satu-satunya pusat perhatian kami. Beberapa minggu berselang, baby El sakit. Kami membawanya ke dokter. Setelah Pemeriksaan dilakukan, dokter curiga bahwa El terindikasi kelainan kromosom. Aku terkejut saat mendengarnya, tetapi suamiku belum yakin dan meminta dokter untuk melakukan serangkain test yang lebih akurat.

Selang beberapa hari hasil test kami terima. Memang benar ada kondisi fisik pada El yang mengarah ke ciri-ciri Down Syndrom atau Syndrom lainnya, seperti garis tangan tunggal dan nyambung, jari kaki yang renggang, kelainan jantung dan ginjal, tapi hasil test kromosom yang baru saja keluar menyatakan baby El normal. Dengan kata lain, hasilnya tidak ada kelainan kromosom. Alhamdulillah, aku bersyukur mendengarnya.

Bulan berganti, baby El harus masuk ke rumah sakit kembali. Ada masalah di jantung El, dokter memutuskan untuk melakukan operasi. Hampir setiap bulan, baby El harus mengunjungi rumah sakit. Dokter melakukan tes ulang, hasilnya Suspect Schinzel Giedion Syndrom, yaitu gejala kemerosotan kemampuan sistem syaraf. Penderita sindrom ini mempunyai keterlambatan perkembangan fisik dibanding anak normal lainnya.

Orang tua mana yang tidak sedih mendengar kabar tersebut. El benar-benar anak yang sangat istimewa. Kami ingin melihat ia sembuh dan tumbuh dewasa. Aku dan suami terus berusaha melakukan yang terbaik untuk El. Banyak sekali cobaan untuk mempertahankan nya tetap dalam kondisi sehat. Materi, pikiran, fisik, dan mental pun juga dipertaruhkan. Ada saja pandangan dan cibiran yang dilontarkan oleh orang-orang yang berpikiran sempit. Penyakit kutukan lah, kena karma lah dan sebagainya. Namun, itu semua tidak mengendorkan tekad dan semangat kami untuk selalu optimis merawat El hingga kondisinya membaik.

Hampir dua tahun berlalu, akhirnya baby El bisa diajak jalan-jalan. Moment yang sudah lama kami nantikan, berwisata bersama keluarga tercinta. Ya ... wisata alam, bukan wisata medis yang sering kami lakukan untuk kesembuhan El. Dengan pengawasan dokter, kami sering mengajak lelaki kecilku itu keluar rumah untuk mengenalkannya pada dunia luar. Hari-hari terasa begitu indah. Momen kebersamaan bertiga dengan anak dan suami menebus semua lelahku. Terkadang, aku ingin berteriak jika El rewel, rasanya  ingin menyerah. Namun, aku teringat kembali bagaimana perjuangan kami mendapatkan El.

20 April 2017, ulang tahun El yang ketiga. Alhamdulillah kami masih diberi kesempatan melihat El tumbuh meski perkembangannya lebih lambat dari anak seusianya. Di penghujung tahun 2017, kami berwisata ke tempat yang agak jauh dan lebih lama dari sebelumnya.  Sepulang liburan, El kembali sakit dan kami membawanya ke Rumah Sakit.

07 Januari 2018, El kritis. Tak henti-hentinya aku menangis dan tak ingin jauh dari nya. El masih berjuang di ICU, pneumonia nya kambuh. Paru-parunya terkena infeksi dan banyak cairan yang masuk. El mengalami sesak nafas. Semua keluarga berkumpul melakukan do’a bersama. Aku pasrah dengan apa yang terjadi kemudian, yang aku inginkan adalah yang terbaik untuk El.

08 Januari 2018, Alhamdulillah akhirnya El sembuh.  Jantung, paru, ginjal, lambung, otak, dan semua organ yang bermasalah menjadi normal. El sudah bisa berjalan, berlari, bicara, dan bernafas dengan normal tanpa tersengal-sengal. Dia sedang asyik bermain bola dengan teman-temannya di tempat yang paling indah. El sedang bermain di taman surga. Allah menyayangi El melebihi kami.  Sang pencipta ingin El kembali berada lebih dekat di sisi NYA.

Sepeninggal El, aku merasa separuh nyawaku pergi. Tidak ada lagi suara tawa, tangisan, dan rengekan yang dulu sempat membuat kepalaku pusing. Sungguh, hidupku hampa tanpa kehadiran El. Aku beruntung memiliki suami dan keluarga yang selalu menghibur dan menguatkanku. Jika tidak, aku bisa gila.

 

Ting… tong… ting… tong…

Suara bel pintu membuyarkan lamunan tentang El. Kulihat jam dinding sudah menunjukkan pukul 12.15 WIB, jadwal makan siang. Semenjak El tiada, suamiku selalu pulang untuk makan siang bersama. Ia selalu membawa makanan kesukaanku. Mas Dirga selalu berhasil membawa napsu makanku kembali.

“Bunda, pejamkan mata. Ayah punya kejutan buat Bunda,” pinta suamiku setelah menghabiskan suapan terakhirnya.

“Hm… kejutan? Baiklah. Dari dulu, Ayah memang jago memberi kejutan.” Aku memejamkan mata dan mencoba menerka-nerka kejutan apa yang ada di hadapanku.

“Taraaa… sekarang, Bunda buka mata.”

Sebuah amplop panjang berwarna coklat tergeletak di atas meja makan. Kubuka perlahan amplop itu, sebuah tiket bertuliskan penerbangan Surabaya – Santorini, Yunani. Tiket dengan keberangkatan tepat di hari ulang tahunku, tanggal 17 Maret 2018, benar-benar membuatku terkejut.

“Ayah, ini, kan, tujuan liburan yang kita rencanakan jika El sembuh?” tanyaku sambil berkaca-kaca.

“Iya, Bun. Bukankah sekarang El sudah sembuh?”

Ucapan suamiku membuat suasana siang itu seketika hening sejenak.  Tak terasa suara isak kami terdengar bersahutan. Aku memeluk suamiku erat.

“El sudah tenang, Bun. Dia ingin melihat orang tuanya tersenyum kembali. Kita buka lagi lembaran baru, ya, Bun,” ujar suamiku lirih sambil mengecup kepalaku.

Tak kuasa menahan tangis, aku hanya mengangguk dan semakin terisak.

 

***

Lima belas bulan kemudian….

“Ayo, Bu! Sedikit lagi, sudah terlihat mahkota bayinya. Tarik napas, lalu hembuskan perlahan sambil berusaha mengejan yang kuat,” pinta dokter yang menolong persalinanku.

“Ayo, Bun. Bunda pasti bisa. El sudah tidak sabar menyapa dunia.” Ucapan suamiku membuat semangat dan tenagaku bertambah drastis. El… iya, aku tak ingin kehilangan El lagi, batinku.

“Ayo, Bu! Terus, terus… sedikit lagi, ya.”

 

Oek… oek… oek…

“Alhamdulillah… bayinya cantik, sehat, dan normal. Selamat Bu, Pak.”

Itulah ucapan terakhir yang aku dengar sebelum aku tak sadarkan diri karena kelelahan mengejan.

Masya' Allah, ada pelangi seusai hujan. Ada hikmah di balik setiap peristiwa. Allah maha baik. Kali ini, kami dipercaya untuk memiliki seorang bayi cantik. Aku semakin yakin bahwa semua yang ada di dunia ini adalah titipanNYA semata. Pada akhirnya cepat atau lambat akan kembali kepada Sang Pencipta. Selama kita sabar, pasrah dan ikhlas menerima ujian, Insya Allah pasti ada hadiah yang lebih indah menanti kita.

Meskipun kini kami telah memiliki seorang putri kecil yang cantik dan menggemaskan, tapi kenangan El masih tetap terpatri di dalam hati. Tiada yang bisa menggantikan lelaki kecilku. El, engkau masih tetap menjadi kebanggaan kami.

Selamat jalan El, selamat jalan guru kehidupanku. Kehadiranmu mengajarkan bagaimana caranya bersyukur, sabar, dan Ikhlas. Kau membuat kami menjadi lebih tegar dan kuat menghadapi apapun permasalahan di dunia ini. Bahagia di sana ya, Nak.  Ayah dan Bunda Sayang El.

 

~TAMAT~

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Dilema Ibu Bekerja Atau Ibu Di Rumah

Menulis Novel Sejarah

Prof Dr Khoirul Anwar, Bapak Teknologi 4G

Perjalanan Dinas Yang Mengesankan Part 2

Teman Bahagia

ANAKKU, GURU KEHIDUPANKU

6 Rahasia Blue Sapphire yang Mempesona

Kekasih Mas Hendra (Lanjutan 1)

Kisah Monyet Nakal dan Tupai Pemaaf

Renungan, Momen di Setiap Sisi Kehidupan