TANTRUM!
Hari
ini, Kamis 04 Oktober 2018, aku diberi kesempatan untuk menemani seorang teman
ke Fakultas Psikologi UNAIR. Bukan tanpa sebab, dia datang untuk
mengkonsultasikan tentang kondisi si buah hati. Jauh-jauh berangkat dari
Kejapanan Gempol ke Surabaya menggunakan angkutan umum, dengan waktu tempuh
selama 1,5 jam ditambah lagi dengan membawa anak balita seorang diri, sungguh
perjuangan yang sangat luar biasa.
Gadis
kecil berusia 2 tahun 10 bulan yang ada dalam gendongannya itu kerap kali
menunjukkan emosi yang di luar batas. Menangis histeris, berteriak-teriak,
memukul, hingga melempar benda di sekelilingnya jika apa yang dia inginkan
tidak terpenuhi. Kondisi ini membuatnya khawatir. Namun, tidak dengan suami
ataupun keluarganya. Mereka berpendapat bahwa hal itu wajar dilakukan oleh
anak-anak dalam keadaan emosi. Semakin lama, ia merasakan gejolak batin yang
begitu kuat hingga ia memutuskan membawa anaknya ke Psikiater seorang diri.
Tantrum! Ya ... ia merasa gadis kecilnya itu mengalami tantrum.
Tiba
di ruang UPP, si anak merasa tidak nyaman. Ia merengek dan berteriak-teriak
minta pulang. Aku dan beberapa psikiater yang bertugas mencoba untuk
menenangkannya. Namun, tidak ada satu pun yang berhasil membujuknya. Ah ... aku
tidak dapat membayangkan, bagaimana jika aku berada di posisi temanku itu. Dia
benar-benar wanita yang tegar dan kuat.
Untuk
meredakan tantrum si kecil, kami mengajaknya berjalan menuju ruang bermain yang
nyaman. Melihat begitu banyak permainan dan desain ruang yang ceria, si kecil
pun tersenyum gembira. Ia bermain begitu riangnya, seolah melupakan tantrum
yang dia alami beberapa menit sebelumnya. Akhirnya, temanku bisa berkonsultasi
dengan tenang. Dari hasil konsultasi, aku menyimpulkan beberapa penyebab dan
cara mengatasi anak tantrum.
Sebenarnya,
apa sih penyebab tantrum ini? Banyak faktor yang menjadi penyebabnya, salah
satunya adalah rasa frustasi. Frustasi karena tidak dapat melakukan aktifitas
yang mereka coba seperti mengambil benda di atas lemari atau membuka tutup
kotak mainannya, frustasi karena keinginannya tidak terpenuhi.Selain itu,
terkadang tantrum memang sengaja dilakukan oleh si anak untuk menarik
perhatian orang tua. Kebiasaan tantrum ini akan lebih sering dilakukan jika si
anak mengetahui bahwa dengan cara tersebut keinginannya segera terpenuhi.
Itulah sebabnya, kita perlu belajar untuk mengabaikan amukan dan membiarkan
tantrum reda dengan sendirinya. Pastikan saja, kita mengawasi dan segera
mengambil tindakan yang diperlukan bila ada risiko bahaya yang terjadi saat anak
mengalami tantrum.
Bila anak tantrum karena keinginannya ditolak,
cobalah bersikap tegas. Bila kita menolak lalu berubah mengabulkan setelah anak
mengamuk, ini akan mengajarkan pada anak bahwa mereka bisa mendapatkan apa yang
mereka inginkan dengan cara ini. Jadi, cobalah untuk tidak memenuhinya meski
misalnya amukan terjadi di tempat umum dan mengganggu atau membuat malu kita.
Lupakan dulu rasa malu dan tetaplah perlakukan anak
seperti bagaimana kita memperlakukan mereka di rumah. Bila memungkinkan, bawa
anak ke sudut yang lebih tenang dan tidak terlalu menarik perhatian dan biarkan
anak menyelesaikan amukannya hingga reda dengan sendirinya.
Sikap tenang dan kalem kita sangat berpengaruh di
sini, jadi jangan terpancing untuk marah. Anak akan belajar bahwa ia tidak bisa
memperoleh apa yang diinginkannya dengan cara seperti itu. Kita juga tidak
perlu mencoba berargumentasi dengan anak pada saat ia sedang mengamuk. Tunggu
sampai amukannya berakhir, baru jelaskan pada anak bahwa caranya itu salah dan
tidak bisa diterima.
Selain itui, coba berusaha mengurangi frekuensi
anak tantrum dengan cara menghindari pembatasan yang berlebihan terhadap
kebebasan anak sambil terus bersikap konsisten. Sikap kita akan membantu anak
untuk dapat lebih pintar mengatur emosi dan menghadapi rasa frustrasinya.
Alhamdulillah, secara tidak sengaja, aku memperoleh ilmu parenting dari hasil konsultasi antara temanku dan psikiater. Semoga solusi yang diberikan bisa membantu temanku menghadapi tantrum yang dialami anaknya.
Satu lagi yang terpenting yang harus kita ingat bahwa ibu adalah sebaik-baik obat dan penolong bagi buah hatinya. Peluk erat buah hati kita, jangan biarkan dia sendiri menghadapi suasana yang asing baginya. Interaksi dan komunikasi adalah kunci utama kedekatan antara orang tua dan anak. Ingat! orang tua adalah ayah dan ibu, bukan hanya ibu saja.
Komentar
Posting Komentar